Sebenarnya
sudah lama mau menuliskan ini di blog, tapi entah kenapa tak pernah kesampaian.
Tapi baiklah, mumpung momennya pas, Hari Guru, jadi sekalian saja lah ya saya
menulisnya.
Jadi
begini, saya mau bercerita tentang salah seorang guru di SMA saya, sebuah SMA
negeri di Jogja yang berlokasi di daerah Terban. Guru
tersebut…. Dalam tulisan ini akan saya samarkan namanya menjadi ‘Bu Es’. Teman – teman alumni tahun 2009 ke atas, kalau membaca tulisan ini sampai
selesai pasti tahu siapa guru yang saya maksud.
Bu
Es adalah seorang guru legendaris, beliau dikenal sebagai ‘Guru Killer’ karena
cara mengajarnya yang tegas, galak dan meledak – ledak. Bahkan beberapa
murid sampai dibuat shock, ketakutan diajar olehnya. Beliau mengajar Bahasa Inggris di
sekolah saya. Bagi saya, beliau adalah kebalikan dari semua guru Bahasa Inggris
yang pernah saya kenal. Biasanya ya, guru Bahasa Inggris itu ramah, baik,
penyabar, murah senyum. Berbeda sekali dengan Bu Es.
Saya melihat sosok Bu Es pertama kali itu ketika kelas X (kelas sepuluh). Seingat saya, waktu itu Hari Jumat. Waktu itu, siang hari setelah Salat Jumat, diadakan pengenalan ekskul wajib di sekolah : Bahasa Inggris. Kelas saya adalah kelas yang pertama didatangi Bu Es. Ketika Bu Es masuk ke kelas, seperti biasa, untuk menyambut guru Bahasa Inggris, kami sekelas mengucapkan “Good Morning. Miss!”
Namun ucapan kami itu terdengar salah bagi Bu Es sehingga beliau menceramahi kami soal ‘pronunciation dan penggunaan good morning’.
Hanya begitu saja perjumpaan saya dengan Bu Es di kelas X. Saya tidak diajar oleh Bu Es saat kelas X. Baru saat naik ke kelas XI, saya masuk jurusan
IPS. Ternyata selama 2 tahun, kelas XI dan XII, pelajaran Bahasa Inggris untuk kelas IPS dipegang oleh Bu Es.
Dalam mengambil nilai, Bu Es benar – benar menguji kemampuan speaking dan listening kami.
Untuk tugas listening, kami diperdengarkan sebuah percakapan atau narasi dari tape yang ada di ruang 114 (seharusnya ruang kelas untuk pelajaran Bu Es ini menggunakan lab bahasa, namun entahlah apa yang terjadi dengan lab bahasa sekolah saya waktu itu. Saya lupa. Mungkin sekarang sudah lebih baik… ya kali, Research School of Jogja tidak punya lab bahasa). Kemudian kami menuliskannya dalam buku tugas kami, lengkap dengan phonetic transcription-nya. Menggunakan kamus Oxford. Mana boleh pakai kamus abal – abal yang judulnya bertuliskan ‘satu juta’ atau ‘dua juta’ yang dijual di emperan itu, yang ada dikatain “Rubbish” atau sampah sama Bu Es.
Dalam mengambil nilai, Bu Es benar – benar menguji kemampuan speaking dan listening kami.
Untuk tugas listening, kami diperdengarkan sebuah percakapan atau narasi dari tape yang ada di ruang 114 (seharusnya ruang kelas untuk pelajaran Bu Es ini menggunakan lab bahasa, namun entahlah apa yang terjadi dengan lab bahasa sekolah saya waktu itu. Saya lupa. Mungkin sekarang sudah lebih baik… ya kali, Research School of Jogja tidak punya lab bahasa). Kemudian kami menuliskannya dalam buku tugas kami, lengkap dengan phonetic transcription-nya. Menggunakan kamus Oxford. Mana boleh pakai kamus abal – abal yang judulnya bertuliskan ‘satu juta’ atau ‘dua juta’ yang dijual di emperan itu, yang ada dikatain “Rubbish” atau sampah sama Bu Es.
Setelah itu, kami harus menghafal apa yang kami tulis, kemudian maju satu per satu. Diuji kemampuan speakingnya. Bukan cuma kelancaran yang dinilai namun juga bagaimana pronunciation kami. Tidak boleh ada
Javanglish, Bahasa Inggris dengan logat medok Jawa, seperti cara presiden kita
bertutur dalam pidato APEC-nya. Saya adalah satu dari sekian banyak siswa yang susah sekali melepaskan logat
Javanglish saat maju speaking. Namun ya walau begitu, nilai Bahasa Inggris
saya selalu bagus kok, nggak pernah ikut remidi. *pamer*.
Memang,
selain dikenal tegas, Bu Es juga dikenal sebagai guru yang perfeksionis. Bukan
hanya soal pronounciation, soal structure, grammar juga. Beliau pernah menerangkan struktur sebuah kalimat secara detail, kalau tidak salah ada sampai dua minggu lamanya
beliau menerangkan.
Bu
Es adalah tipe guru yang sangat disiplin. Saking disiplinnya tidak boleh ada
yang cengengesan di kelas. Padahal kelas saya, XII IPS 2, dikenal sebagai kelas
yang isinya makhluk – makhluk ‘ajaib’; para dedengkot bangsanya Aninto Semut,
Soak, Bandeng, Kempot, Imam. Makhluk – makhluk yang tingkat kebandelannya dikhawatirkan dapat membuat seorang guru kumat darah tinggi.
Mungkin karena ini ya, Bu Es bawaannya selalu emosi tiap mengajar kelas kami
hahaha.
Tapi ya bagaimana bisa cengengesan kalau suasana kelas selalu tegang begitu.
Sialnya,
pelajaran Bahasa Inggris Bu Es waktu itu ditaruh pada Hari Senin. Bayangkan Hari Senin yang menyebalkan bertambah menjadi Senin yang mencekam. Ruang 114 yang digunakan untuk pelajaran Bahasa Inggris, bagi kami lebih menyeramkan daripada spot manapun di sekolah yang diisukan
berhantu.
Oh
ya, soal Ruang 114 ini, ada cerita yang membekas. Waktu itu, Hari Senin, seperti biasa, sebelum memulai pelajaran, Bu Es memeriksa lemari tempat tape yang biasa mengumandangkan percakapan untuk listening. Namun apa yang terjadi, kunci lemari
tempat tape itu disimpan raib, hilang. Marahlah beliau, mutung, tak mau mengajar
kami. Dikiranya salah satu dari kami ada yang usil, menyembunyikan kunci lemari
tape itu. Namanya juga kelas preman, selalu jadi sasaran empuk kecurigaan jika
ada guru yang dikerjai. Namun suwer, bukan kami yang iseng menyembunyikannya.
Kunci
lemari tape itu akhirnya ketemu, Bu Es mau mengajar kami lagi. Sampai sekarang
saya masih belum tahu bagaimana ceritanya kunci lemari tape itu bisa ketemu,
kalau ada teman – teman IPS 2 angkatan 2009 yang baca *ngarep* mungkin bisa
bercerita kronologi ditemukannya kunci-lemari-tape.
Kalau
menurut saya memang keterlaluan sih usilnya, (kalau ada) yang menyembunyikan
kunci-lemari-tape itu. Sudah tahu gurunya seperti apa.
Namun
Bu Es juga pernah menunjukkan wajah ramahnya. Ini terjadi
ketika Pendalaman Materi (PM) kelas XII. Pendalaman Materi ini semacam bimbingan belajar dari sekolah, pelajaran tambahan untuk kelas XII yang sebentar lagi akan menghadapi UAN. PM dilakukan pada Hari Jumat. Di SMA saya,
biasanya Hari Jumat, hari yang pendek, setengah hari dikhususkan untuk ekskul
bagi kelas X-XI, sementara XII Pendalaman Materi. Pendalaman
Materi memang selalu membuat malas. Dasar kelas preman, mayoritas penghuni kelas XII IPS 2 memilih
untuk membolos. Kabur dari PM. Hingga tersisa lima orang : Reni, Kikin, Dhita, Annis, dan Saya. Iya, SAYA. Ini membuktikan kalau waktu SMA dulu saya termasuk
anak rajin (kalau ada yang bilang waktu SMA kerjaan saya cuma baca komik jangan percaya, itu semua
hanya cerita bohong yang disebarkan PKS Piyungan).
PM
Bahasa Inggris yang diajar Bu Es hanya dihadiri lima orang. Herannya saat itu tempo mengajar Bu Es lebih pelan, tidak meledak – ledak seperti biasanya. Ditambah senyum pula. Barangkali karena kami berlima memang bertampang manis,bukan tipe muka-muka yang bikin emosi hahaha.
Ya,
Bu Es dengan segala cerita tentang beliau. Kalau bernostalgia, cerita – cerita jaman
SMA, pasti tak pernah lupa bercerita soal Bu Es.
Kalau
dipikir, sebenarnya ada maksudnya juga sih Bu Es berlaku tegas begitu pada
murid – muridnya. Barangkali beliau adalah seorang guru yang mempunyai prinsip “kalau
nggak dikerasin, kalian tidak akan mau kerja keras!”. Mungkin juga beliau sudah
hapal medan. Sudah hapal bagaimana cara menghadapi murid – murid sekolah saya
yang bandelnya ampun – ampunan (dulu, SMA saya memang dikenal sebagai
sekolah yang isinya anak anak nakal hobi tawuran, namun sekarang sudah berganti citra menjadi Research School of Jogja)
Secara tidak langsung Bu Es mengajarkan kami supaya tidak menjadi anak – anak manja. Beliau seperti mempersiapkan kami, suatu saat kami pasti bakal
bertemu dengan dosen, atau atasan yang galaknya mungkin lebih parah dari Bu Es. Singkat kata 'menempa mental' kami.
Sayang,
Bu Es sudah tidak mengajar di sekolah saya lagi. Beliau dipindahkan ke sekolah
negeri lain di Jogja, tidak jauh dari sekolah kami. Sebuah SMA di daerah
Sagan. Saya (lagi – lagi) lupa tahun berapa beliau pindah, yang jelas saat itu saya
sudah jadi mahasiswa.
Ah,
Bu Es, terlalu banyak hal yang diingat dari beliau, ya tegasnya, ya galaknya, ilmu
Bahasa Inggrisnya yang luar biasa. Sampai etos kerja beliau (tidak pernah
mengosongkan kelas, selalu menyempatkan mengajar)
Semoga
saja, suatu saat saya bisa bertemu beliau lagi dan memberanikan diri menyapa :
“How
do you do, Miss?”
Komentar
Posting Komentar