Selasa sore, di sebuah warung. Di luar hujan deras tak juga berhenti.
Pemuda itu masih bertahan di dalam warung. Sementara pengunjung lain
telah datang dan pergi silih berganti.
Pemuda itu menghisap rokoknya pelan - pelan, entah rokok
keberapa yang ia hisap, ia melirik bungkus rokok dalam saku jaketnya,
tinggal satu batang tersisa. Sementara kopi
yang ia pesan sudah habis setengah gelas. Kopi ke empat yang ia pesan. Sudah sekitar 4
jam ia duduk menunggu hujan reda di warung makan langganannya itu. Namun kini
berbeda, ia duduk sendirian, tanpa ditemani kawan – kawan, gerombolannya pada masa kuliah, kawan
– kawannya yang setia baik ketika bersenang – senang maupun dalam kesusahan.
Kini mereka telah berpencar, sebagian telah berada di
pulau sebarang, mencari nafkah, sebagian lagi masih berjuang menyelesaikan masa
studi.
Pemuda itu menatap kosong ke arah jendela. Ia melamun,
ingatannya tertuju pada hari selasa, seminggu yang lalu. Hari Selasa yang
cerah, saat ia larut dalam euphoria,
merayakan berakhirnya masa mahasiswa yang
telah ia tempuh selama 4 tahun. Pada hari itu dua huruf telah resmi tercantum di
belakang nama panjangnya, menandakan statusnya yang baru : sarjana.
Kegembiraan tersebut hanya berlangsung sekejap. Setelah
itu ia harus menghadapi realita, di depannya kini ada sebuah dunia baru yang mau tak mau harus ia masuki. Dunia bernama ‘dunia pekerja’.
Pemuda itu menyandarkan punggungnya pada tembok warung yang dingin. Pikirannya melayang pada keluarganya di rumah. Kedua
orangtuanya yang mendampinginya dengan senyum bangga saat wisuda. Ayahnya, seorang
pegawai negeri sederhana yang tahun depan akan pensiun, Ibunya, ibu rumah
tangga yang dengan sabar membangunkannya tiap pagi buta untuk sembahyang subuh, juga adik perempuannya, yang tahun depan akan menjadi mahasiswa.
Sudah berhari – hari pemuda itu mengirimkan surat lamaran, selembar ijazah yang ia perjuangkan selama 4 tahun berkuliah beserta daftar aktivitas yang pernah ia jalani sebagai mahasiswa, ke berbagai perusahaan, berbagai instansi. Namun tak juga ia mendapatkan balasan.
Sudah berhari – hari pemuda itu mengirimkan surat lamaran, selembar ijazah yang ia perjuangkan selama 4 tahun berkuliah beserta daftar aktivitas yang pernah ia jalani sebagai mahasiswa, ke berbagai perusahaan, berbagai instansi. Namun tak juga ia mendapatkan balasan.
Hujan di luar kini menyisakan gerimis. Pemuda itu meneguk habis kopi dalam gelasnya. Ia rindu
rumah, ia ingin segera pulang.
Dengan sisa uang saku yang ada di dalam dompet lusuhnya, pemuda
itu membayar semua pesanannya.
Masih uang ayah dan
ibu, gumamnya dalam hati..
Pemuda itu melangkah ke luar warung. Ia ingin cepat tiba di rumah. Ia ingin tidur,
melupakan semua pikiran tentang pekerjaan yang memberatkan kepalanya.
Mungkin nanti dalam tidurnya ia bermimpi, menjadi direktur atau pilot, cita - citanya kala masih bocah. Menjadi apa saja, asal bukan menganggur seperti saat ini.
Dinyalakannya motor pemberian ayahnya. Pemuda itu bersiap untuk pulang ke rumah, tempat yang selalu memberinya damai.
Sayup – sayup dari dalam warung terdengar suara Iwan Fals
mengalun di radio, mendendangkan ‘Sarjana Muda’
“Engkau sarjana muda. Resah mencari kerja
Mengandalkan ijazahmu. Empat tahun lamanya
Mengandalkan ijazahmu. Empat tahun lamanya
Bergelut dengan buku. Tuk jaminan masa depan”
Komentar
Posting Komentar