No One Really Wins - Copeland


en.wikipedia.org


" It's a fight between my heart and mind,
No one really wins this time, No one really wins this time"
 (No One Really Wins - Copeland)

Kata salah seorang kawan, jarak paling berbahaya adalah 18 cm, yaitu jarak antara otak dan hati. Dua bagian tubuh ini, otak dan hati seringkali tidak kompak dalam berkoordinasi., slenco. Bukan hanya sulit berkoordinasi, dua bagian ini kerap berbenturan. Saling bersaing, memperebutkan siapa yang paling bisa, paling berhak untuk mengendalikan apa yang harus dilakukan si pemilik tubuh.

Hati bilang, paling tepat menuruti perasaan. Namun otak mengatakan bahwa paling tepat menuruti logika.

Padahal, yang paling tahu, yang harusnya paling mampu untuk bertindak adalah si pemilik tubuh itu sendiri.
Namun memang, seringkali si pemilik tubuh harus mengalami 'ketidakstabilan emosi', 'peperangan batin'. 
Perang antara otak dan hati.

Seperti itulah yang terjadi pada saya sekarang. Otak dan hati. Logika dan perasaan. Nggak kompak
Ada semacam 'perebutan kekuasaan' dalam diri saya. Seperti ada dua kubu yang sama kuat sedang berperang memperebutkan kuasa atas diri. Dan saya? Saya labil, terlalu bimbang ada di pihak mana saya harus berada. Satu sisi saya ingin mengikuti apa kata otak namun perasaan itu terlalu kuat sehingga saya kembali menuruti, berada di pihak perasaan.

Saya, manusia yang seringkali lebih mengikuti perasaan daripada logika. Lebih berpihak ke hati daripada otak. Namun saya sekarang merasakan, jika selalu mengikuti perasaan juga tidak baik. Tidak baik buat saya.

Karena hati dan perasaan kini menancapkan kuasanya lebih kuat daripada otak dan logika. 
Otak seperti kehilangan daya. Hati menguasai otak. Tentu saja, otak menjadi tercemar. Segala macam pikiran tidak penting, pikiran - pikiran yang entah bagaimana sulit saya jabarkan. Pikiran yang ingin saya buang sejauh - jauhnya, terus merasuk. Hingga semua yang saya kerjakan menjadi ikut cemar, tidak fokus, kacau. Otak kacau, semua ikut kacau. Semua tindakan saya, semua berdasarkan hati, bukan lagi pada logika.

Sampai sekarang, ketika menulis ini, 'perang' itu masih berlangsung. Kedudukan hati semakin kuat, otak semakin lemah. Pikiran - pikiran yang ingin saya buang sejauh - jauhnya itu masih mencemari otak saya.

Saya ingin move on. Ingin benar - benar membuang pikiran - pikiran itu jauh, sejauh - jauhnya sampai saya tidak dapat mengingatnya lagi. 

Ya, bukan hati atau otak yang mendasari, berkuasa atas segala tindakan yang dilakukan si pemilik tubuh. Si pemilik tubuh lah yang harusnya memiliki kuasa penuh atas apapun yang akan ia lakukan. Atas segala keputusannya. 
Mungkin, memang butuh waktu untuk belajar mengendalikan kapan harus menuruti logika kapan harus menuruti perasaan. 


Komentar