Ada aktivitas yang berbeda di area Gedung Kuliah Umum (GKU), pada daerah perbatasan antara kampus Fakultas Hukum dan kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Mahasiswa yang melewati area tersebut mau tak mau harus terganggu oleh aktivitas pembangunan Gedung Perpustakaan Terpadu bertingkat tiga. Selain itu, mahasiswa maupun dosen yang sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar di GKU harus rela diganggu oleh bunyi gaduh yang berasal dari area tersebut.
Namun, pernahkah kita terpikir mengenai sosok yang berada di balik pembangunan gedung tersebut? Mereka yang berjasa membuat bangunan tersebut, para pekerja yang berkutat dengan semen dan bahan bangunan. BPPM MAHKAMAH FH UGM, kali ini akan mengajak berkenalan dengan salah seorang dari pekerja bangunan pada proyek perpustakaan terpadu ini.
Namanya Lasiman. Usianya 39 tahun. Saat ini, ia bekerja sebagai salah satu pekerja bangunan dalam proyek Gedung Perpustakaan Terpadu tiga lantai di Fakultas Hukum UGM. Lasiman berasal dari keluarga petani di Gunungkidul. Kedua orang tuanya hanya petani biasa, petani musiman di Gunungkidul. Faktor ekonomi keluarga yang membuatnya tidak sempat meneruskan sekolahnya sehingga terhenti pada tingkat SMP. Ia sudah bekerja sebagai tukang bangunan sejak tahun 1991. Selain sebagai tukang bangunan, Lasiman pernah bekerja sebagai buruh di pabrik roti.
Lasiman dikontrak selama 5 bulan untuk bekerja di proyek pembangunan gedung ini. Sebagai kepala tukang di proyek ini. Lasiman cukup beruntung. Gaji yang diberikan per hari untuknya, sedikit lebih banyak dari teman teman kerjanya, yaitu sekitar Rp 50.000. Sementara pekerja lainnya hanya mendapat gaji sekitar Rp35.000 sampai Rp45.000 per hari, bahkan ada yang di bawah Rp30.000. Jumlah tersebut jelas belum dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Terutama untuk Lasiman yang harus membiayai pendidikan ketiga anaknya.
Ketika penulis bertanya mengenai jaminan keselamatan kerja untuk pekerja bangunan, Lasiman menjawab ada asuransi. Disinggung mengenai fasilitas pelindung pekerja seperti helm proyek, ternyata sampai sekarang tidak diberi oleh perusahaan yang memperkerjakannya. Padahal alat tersebut penting untuk perlindungan keselamatan pekerja di lokasi proyek. Dalam peraturan perundang–undangan disebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan, bagi pekerja dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan. Penyediaan fasilitas kesejahteraan dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja dan ukuran kemampuan perusahaan. Keselamatan dan kesehatan kerja buruh pada dasarnya diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal. Secara teori, upaya penjaminan keselamatan dan kesehatan kerja buruh bukan hanya dengan pemberian asuransi, namun juga dengan pencegahan kecelakaan di tempat kerja melalui pemberian fasilitas penunjang.
Ironisnya, kita, mahasiswa dan pengajar Fakultas Hukum UGM yang setiap hari melewati area proyek tersebut, sepertinya acuh tak acuh terhadap masalah tersebut. Apa yang kita dapatkan dari ruang kelas mengenai teori perburuhan dan ketenagakerjaan seolah hanya menancap di kepala saja. Teori yang diberikan seakan menguap ketika menghadapi realita. Tembok kampus (yang katanya) kerakyatan kian kokoh hingga membuat para penghuninya tak lagi peka terhadap kenyataan yang kita temui di sekitar.
Para pekerja bangunan ibaratnya akar suatu pohon, bagian yang tersembunyi di bawah tetapi menguatkan dan mengkokohkan pohon tersebut. Akar merupakan bagian yang tersembunyi di bawah, tidak terlihat, tetapi vital keberadaannya. Seringkali kita tidak peduli akan keberadaan akar. Begitu pula dengan para pekerja tersebut, tanpa mereka kita tidak akan dapat membuat sebuah bangunan terealisasikan. Kondisi mereka sebagai pegawai dalam kasta terendah membuat kita acuh tak acuh akan keberadaan mereka. Bahkan jaminan keselamatan dan kelayakan hidup para pekerja ini sering tak terpenuhi.
Tulisan untuk Rubrik 'Sosok', Buletin Mahkamah Edisi I Tahun 2011
Komentar
Posting Komentar